Dilansir dari Liputan6, Opa Rudi menggambarkan penghargaan yang diterimanya ibarat siraman air di sisi jalan kepada pelari maraton yang menyejukkan dan menyegarkan sejenak demi melanjutkan lari. Ia mengungkapkan, orang Maluku sebagaimana dalam Puisi Chairil Anwar adalah kumpulan binatang jalang.
Menurut penyair Indonesia asal Maluku ini, mereka saling melukai, lalu berlari ke rimba, saling menjilat luka dan nanah. Aneh, kata dia, segala luka itu sembuh, walau membekas menjadi teks-teks kenangan. "Terkadang manis dan terkadang getir," ucap Opa Rudi, Rabu malam 15 Juni 2016.
Opa Rudi mengungkapkan, berdiri di mimbar Maarif Award menerima penghargaan itu bukanlah cita-citanya. Ia bahkan malu dan merasa tidak layak menerima penghargaan itu.
"Tapi saya kuatkan hati, datang dengan haru sebagai rasa hormat dan penghargaan kembali kepada Maarif Institute, yang memandang Indonesia secara tulus dengan visi besar kemanusiaan," tutur dia.
Opa menjelaskan, penghargaan yang diberikan kepadanya bukanlah tentang satu pribadi, tetapi tentang orang-orang yang tinggal mulai di Pantai Sopi Pulau Morotai di bibir Samudera Pasifik sampai ke Pantai Marsela di bibir Samudera Indonesia.
Ia menegaskan tidak pernah berjalan sendiri dalam merajut perdamaian yang sempat terkoyak di bumi Maluku.
Di sekeliling Rudi, ada rantai panjang individu dan komunitas besar-kecil yang saling tambal, sulam, terpilin menjadi kain perdamaian yang diikat banyak utas benang.
"Bahwa ada tesis butuh 100 tahun untuk Maluku Damai. Ternyata, hanya beberapa tahun, tesis itu dipatahkan," ujar Opa Rudi.
Merangkul Lewat Perjalanan
Orang Maluku di berbagai lini, lanjut Opa, telah bergerak serentak dengan cara dan gaya yang khas. Orang muda Maluku telah bangkit dengan jaya. Di kota dan kampung, di pulau-pulau, muncul aktor-aktor tidak terkenal."Melalui komunitas kreatif, mereka mewujudkan Maluku Damai. Datanglah ke Maluku, saksikan bagaimana hobi, minat, bakat, talenta dicurahkan untuk merawat dan memuliakan kehidupan," ajak Opa.
Tokoh muda Maluku yang sehari-hari bekerja sebagai jurnalis salah satu media cetak di Ambon itu mengemukakan caranya merajut perdamaian. Ia sengaja berjalan ke banyak tempat dan menemui komunitas-komunitas muda.
Ia bahkan sengaja menumpang tidur di rumah orang, di gunung, perpustakaan untuk mempelajari perbedaan. Saat itulah, ia merajut pertemanan dengan kaum yang berbeda.
"Sebagai penganut Katolik, saya banyak berjumpa dengan Islam. Bila saya tidur di rumah keluarga Muslim, saya menangkap sinar mata, getar suara, dan gurat senyum. Selalu saya merasa orang-orang Muslim sangat rindu dan berbahagia sebab di rumahnya ada orang Kristen makan, minum, mandi, tidur, dan melakukan aktivitas layaknya di rumah sendiri," tutur Opa Rudi.
Sebaliknya, kata Opa, dirinya rindu berjumpa sebanyak-banyaknya dengan Islam, sekadar untuk pulang membawa kabar baik bahwa Islam dipenuhi orang-orang baik. Opa Rudi menegaskan Islam bukanlah teroris.
"Saya berbahagia bahwa orang-orang tua dari kampung Islam, mempercayakan anaknya perempuan dan laki-laki datang di kampung saya, tinggal di rumah saya," tutur Opa.
"Pada malam hari ketika saatnya mendirikan salat isya, mereka bertanya, 'Papa, kiblat di mana ya?'. Saya lantas menunjuk arah kiblat, sambil menatap langit sekadar menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah karena dipenuhi rasa haru," sambung dia.
Berbekal pengalamannya, ia memandang kaum muda Maluku juga perlu mengalami hal serupa. Dengan begitu, mereka bisa saling berjumpa dan membuka hati.
"Saya bersyukur, banyak orang muda membuka hati perjumpaan, persentuhan, perhentian, dialog, permenungan, dan terbentuklah persepsi bersama, visi/misi bersama, dan aksi bersama," ucap Opa Rudi.