Social Icons

Pages

Menggugat Peran Anak Maluku Pasca Pemberontakan RMS

 Menggugat Peran Anak Maluku Pasca Pemberontakan RMS
Tulisan ini tidak bermaksud menguak luka lama, namun bertujuan mempertanyakan sikap pemerintah terhadap rasa keadilan bagi kami orang-orang Maluku. Sebagai generasi baru yang cinta terhadap NKRI, kami hanya ingin rasa keadilan yang proporsional. Orang Maluku tidak pernah memberi mandat kepada suku manapun untuk mewakili kami dari Indonesia Timur.

Aboru, salah satu Negeri di Pulau Haruku yang katanya banyak Simpatisan RMS (Republik Maluku Selatan) disana. Pertanyaan yang paling mendasar, mengapa hingga saat ini masih ada orang yang simpati dengan RMS setelah 71 tahun Indonesia Merdeka?

Apakah ini persoalan rasa nasionalisme bangsa Alifuru (suku asli orang Maluku Selatan) yang berlebihan, ataukah karena faktor kesenjangan ekonomi dan atau rasa keadilan Pemerintah Pusat yang tidak berpihak pada mereka?

Sadar atau tidak, setelah Dr. Chris Soumokil melakukan makar di Maluku terhadap pemerintah pusat tahun 1950, maka peran orang Maluku di tingkat nasional lambat laun mulai dikerdilkan pemerintah.

Berapa banyak orang Maluku yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan pasca gerakan RMS?  Pada zaman Pak Harto masih ada orang-orang Maluku yang menduduki jabatan menteri namun selalu berkurang setiap Pelita. Semenjak zaman reformasi hingga kini, tidak ada seorangpun putra Maluku yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan.

Hanya Jenderal George Toisuta yang menduduki Kepala Staf AD, dan Prof. Alex Retraubun yang menjabat Wakil menteri Perindustrian pada zaman Pak SBY. Peran orang Maluku di kabinet digantikan orang Papua sebagai representasi Indonesia Timur.

Apakah tidak ada orang Maluku yang berpotensi atau punya kapasitas untuk jabatan tinggi? Apakah loyalitas orang Maluku pada NKRI diragukan?

Orang Maluku sudah berpendidikan tinggi sejak zaman kolonial. Pada Sumpah Pemuda 1928, sudah ada Jong Ambon?  Bayangkan! Sumpah Pemuda itu diikrarkan oleh pemuda cerdik pandai, bukan oleh pemuda buta huruf yang tidak mengerti apa-apa.

Bahkan sejarah mencatat, orang Indonesia pertama yang sekolah ke luar negeri itu adalah Orang Ambon, yakni tiga pemuda Saparua yang dikirim sekolah Theologi di Leiden awal tahun 1600-an. Sementara orang Jawa pertama yang sekolah di Belanda baru pada akhir tahun 1700-an. Artinya, kapasitas otak orang Maluku tidak diragukan oleh Belanda.

Ketika suku-suku lain masih gagap Holland Spreken, orang Maluku sudah menyandang gelar akademik Doktor dari Belanda.

Contoh kecil, ahli pertama Nuklir kita adalah DR. AG. Siwabessy, sebab itu reaktor atom pertama RI milik BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) diberi nama reaktor Siwabessy untuk menghargai jasa-jasa beliau. Ahli kusta pertama kita adalah Prof. dr. JB. Sitanala yang karyanya dihargai dunia internasional. Karena jasa-jasanya maka RS. Kusta pertama dan terbesar di Indonesia diabadikan nama RS. dr. Sitanala di Tangerang.

Kita semua familiar dengan nama-nama seperti Leimena, Latuharhary, dan lainnya. Dalam hal loyalitas orang Maluku, orang Belanda pun mengakui itu. Disamping naluri berperang, loyalitas orang Maluku kepada Pemerintah Belanda sangatlah tinggi.

Hal itu yang membuat orang Maluku lebih dipercaya memimpin pasukan elite Belanda. Gaji mereka pun lebih tinggi dari tentara pribumi lainnya (ini saya kutip dari tulisan seorang sejarawan beken).

Lantas kenapa Soumokil berontak? Versi orang-orang tua di kampung menyebutkan, oleh karena KETIDAKADILAN pemerintah pusat dalam membangun Maluku dan luar Jawa. Sebab itu pasca 45, banyak daerah yang memberontak. DI/TII di Aceh hingga Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, PRRI/Permesta di Sulut dan RMS.

Bedanya adalah, hanya RMS yang ingin mendirikan negara sendiri terlepas dari RI, sementara yang lain hanya menuntut keadilan pemerintah pusat dan mau merubah konstitusi negara dengan landasan agama.

RMS bukanlah gerakan separatis ecek-ecek. Kekuatan militer RMS utamanya adalah mantan tentara KNIL yang kenyang bertempur. Mereka ini tentara terlatih yang didukung naluri bertempur luar biasa. Sejarah mencatat tentara-tentara Ambon-lah yang menjadi tulang punggung Belanda dalam menumpas berbagai pemberontakan di era kolonialisme.

Bahkan pasukan Cuk Nyak Dien yang demikian perkasa di Aceh, dilumpuhkan oleh pasukan Marsose Belanda dengan tulang punggung tentara-tentara dari Maluku. Berperang adalah bawaan orok orang Maluku, sebab itu jangan heran kalau tarian orang Maluku dari utara hingga selatan, adalah Cakalele yang adalah replika gerakan perang.

Kembali pada RMS
Bermodal senjata dan amunisi yang pas-pasan, RMS sangat merepotkan TNI. Korban dari TNI yang dikenang adalah Brigjen Ignatius Slamet Rijadi, gugur dalam membela NKRI di Kota Ambon. Perlawanan RMS-lah yang menjadi cikal bakal lahirnya pasukan elit TNI-AD yang kita kenal dengan KOPASUS dewasa ini.

Sebab diakui, TNI kesulitan menumpas RMS dengan pasukan reguler biasa. Cerita orang tua di kampung menyebutkan RMS akhirnya bisa ditumpas dengan strategi “pagar betis” oleh kapal-kapal perang TNI yang mengitari pulau Ambon. Kehabisan amunisi membuat pertahanan RMS berangsur-angsur lemah.

RMS kurang mendapat simpati/dukungan penuh orang-orang Maluku sebab kekejaman mereka. RMS tidak segan-segan membunuh sesama orang Maluku yang dituduh mata-mata TNI dari laporan yang belum tentu benar. Dalam bahasa orang Ambon, RMS itu “tipis telinga”. Para penumpas RMS juga adalah bekas tentara KNIL Ambon yang pro pada pemerintah RI yang dikomandani Idjon Djanbi.

Singkat cerita, pentolan RMS, Dr. Chris Soumokil akhirnya ditangkap di Seram dijatuhi hukuman mati tahun 1966. Soumokil-lah korban pertama dari UU Subversif yang kontroversial itu. Ada pertanyaan yang menggelitik saya, Mengapa dari zaman penjajahan hingga kemerdekaan, semua pemimpin perang/politik dari Maluku selalu dihukum mati? Banyak pahlawan nasional dari Sumatera, Jawa dan Sulawesi hanya ditangkap dan diasingkan Belanda ke daerah lain. Tapi mengapa Pattimura langsung digantung dan Dr. Soumokil tanpa ampun ditembak mati? Biarlah ahli sejarah yang menjawab.

Tulisan ini tidak bermaksud menguak luka lama, namun bertujuan mempertanyakan sikap pemerintah terhadap rasa keadilan bagi kami orang-orang Maluku. Sebagai generasi baru yang cinta terhadap NKRI, kami hanya ingin rasa keadilan yang proporsional. Orang Maluku tidak pernah memberi mandat kepada suku manapun untuk mewakili kami dari Indonesia Timur.

Pengaruh orang Maluku di Indonesia Timur sangatlah besar sejak ratusan tahun silam. Kesultanan Ternate dan Tidore adalah penguasa Indonesia Timur pasca Majapahit runtuh. Karena kedua Kesultanan itu, orang di Timur Indonesia memeluk Islam secara luas. Bagaimana yang Kristen? Suku pertama di Indonesia yang kenal Injil adalah orang Ambon. Santo Fransiscus Xaverius-lah yang pertama meng-Katholik-kan orang Ambon secara massal pada 1546. Baru setelah itu Belanda yang mengenalkan Protestan di Maluku.

Dari guru-guru Injil orang Maluku-lah Injil tersebar di Timur Indonesia, dari Sulawesi, Timor hingga Papua. Ini memberi bukti jika orang Maluku sudah berperan jauh dan sangat maju dari 400 ratus tahun lalu, sehingga jika kemudian peran orang Maluku dewasa ini digantikan dan direpresentasikan suku lain, rasanya aneh dan lucu. Kami tidak ingin mengusik peran suku lain, namun kembalikan peran kami di republik ini sebelum pemberontakan RMS, minimal jangan dibonsai agar terlihat cantik namun tak berarti apa-apa.

Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa hingga saat ini, masih ada orang Maluku yang simpati dengan RMS dan masih “berjuang” di Maluku dan diaspora untuk kemerdekaan Maluku?

Pemerintah harus bisa mencari akar masalahnya dan menyelesaikan itu secara tuntas, sehingga tidak akan lahir Soumokil baru.

Pada hari Kemerdekaan bangsa kita yang ke-71, sebagai anak bangsa yang cinta NKRI, kami minta agar pemerintah pusat bisa berbuat lebih adil, seadil-adilnya bagi kami dan bagi semua suku lainnya yang mewarisi Ibu Pertiwi ini.

Berikan pada kami anak-anak Maluku, ruang dan kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara sehat. Jangan ada keberpihakan pada wilayah tertentu karena primordialisme suku, kedekatan dengan pusat, dan atau karena faktor demografi.

Jika ukuran itu yang dipakai, maka sudah pasti kami tersingkir. Kami tidak takut berkompetisi dengan siapapun, sebab nenek moyang kami sudah membuktikan itu sebelum Indonesia merdeka, jika mereka juga mampu berkiprah dalam pergerakan kebangsaan.

Hanya itu harapan kami. Jayalah Negeriku, Jayalah Indonesiaku. Salam Kebangsaan, NKRI harga mati, Merdeka!

Oleh : Ronald Luhulima
Comments
0 Comments