Beberapa guru besar kelautan dari Universitas Pattimura mempresentasikan potensi ekonomi kelautan di Maluku yang bila dikonversi kedalam rupiah, maka nilai keekonomiannya diyakini mampu menopang kesejahteraan seluruh rakyat Maluku, bahkan menyumbang secara siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia.
Melalui tulisan ini saya tidak akan menceritakan tentang nilai keekonomian atau angka-angka ekonomi kelautan yang fantastis itu. Saya justru tertarik dengan kritik seorang anggota DPD RI asal Maluku yang juga seorang guru besar di sebuah universitas di Jakarta. Beliau menyangsikan hipotesis bahwa masyarakat Maluku adalah kelompok masyarakat yang memiliki mentalitas dan karakter yang dibutuhkan sebagai bangsa pelaut yang tangguh, sebagaimana jamak ditemukan pada para pelaut Mandar dan Bajo di Sulawesi Selatan atau nelayan-nelayan Banyuwangi dan Madura dari Jawa Timur. Nelayan-nelayan Maluku hanya berlayar di sekitar laut Maluku, itupun sekedar menjalani aktifitas kenelayanan secara temporal sebab umumnya nelayan Maluku mengandalkan pendapatannya dari aktifitas pertanian dan perkebunan.
Bila dipahami secara sepintas, apa yang dikatakan sang senator tersebut pasti dapat dibenarkan, sebab pada realitasnya para nelayan di Maluku bukanlah pelaut dan nelayan tangguh yang berani menantang samudra hingga batas terjauh. Para nelayan Maluku juga tidak memiliki budaya terkait penguasaan teknologi kenelayanan, seperti perkapalan yang dapat digunakan untuk menopang aktifitasnya.
Perahu-perahu di Maluku, seperti Kora-kora, Koli-koli atau Giuk adalah perahu tradisional yang sulit melakukan pelayaran jarak jauh. Namun bagi saya semua kesan tersebut adalah kesimpulan yang masih dangkal dan perlu diklarifikasi lebih seksama. Apakah benar masyarakat Maluku adalah sebuah komunitas kepulauan yang telah melupakan alam kelautan dan pesisir yang mengitarinya, sehingga mereka tidak memiliki etos sebagai bangsa maritim yang patut dibanggakan. Ataukah kondisi tersebut merupakan sebuah realitas yang tercipta melalaui berbagai bentuk politisasi dan rekayasa sosial yang telah berlangsung lama.
Tiga Fakta Kehancuran
Bila kita membaca sejumlah data sejarah, secara historis aktifitas kelautan di Maluku bukan sekedar aktifitas kenelayanan yang rapuh, tetapi lebih dari itu berkaitan dengan fakta kehancuran kebudayaan dari suatu masyarakat maritim yang pernah berjaya. Masyarakat Maluku bukanlah kamunitas yang tidak mencintai laut, ombak, ikan, batu, karang dan angin yang terhampar di depan matanya. Mereka dulu adalah pelaut-pelaut tangguh, penjelajah lintas samudera yang disegani kawan dan lawan. Pelaut-pelaut Maluku adalah pedagang-pedagang kaya yang pernah menguasai sebuah jalur perdagangan rempah dan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka pernah berjaya dan memeriahkan aktifitas perdagangan dunia pada abad 16 hingga 18 yang berpusat di perairan Maluku.Namun dunia kemaritiman Maluku mengalami kemunduran, kehancuran dan kejatuhan secara perlahan-lahan. Setidaknya ada tiga situasi yang menyumbang kepada realitas tersebut, baik berupa tragedi yang dapat dilacak sejak masa lalu, maupun dinamika sosial politik kontemporer akibat kekeliruan kebijakan pembangunan pada masa Indonesia Moderen.
Fase pertama kehacuran peradaban maritim Maluku bisa dilacak pada era kolonialisme. Sejarawan LIPI Muridan Widjoyo mencatat bahwa masyarakat Maluku adalah pelaut-pelaut tangguh yang biasa melayari nusantara bahkan hingga ke India. Mereka menjalankan aktifitas perdagangan rempah-rempah secara independen dengan berbagai bangsa. Catatan Muridan (2014) dan juga Roy Ellen (1986) menyebutkan hiruk pikuk perdagangan tersebut. Bahkan para nelayanan di wilayah Seram Timur dan Tenggara menguasai jalur perdagangan sendiri yang mereka sebut sebagai Sosolat. Jalur Sosolat biasanya melewati jalur Selatan yang memanjang dari Pulau-pulau di Papua Barat, Seram Bagian Timur dan Tenggara, Timor, Bali, Banten, Bengkulu di Sumatera hingga Madras di India. Jalur ini merupakan jalur perdagangan ilegal diluar jalur perdagangan monopoli yang secara resmi dikuasai oleh kolonial Belanda. Terdapat ratusan kapal dan perahu yang dikendalikan oleh para pedagang dan pelaut Seram yang yang memuat berbagai bahan rempah-rempah untuk dijual ke Bali, Sumatera hingga India. Aktifitas tersebut sempat membuat harga komoditas rempah-rempah yang dimonopoli Belanda jatuh di pasaran dunia. Pemerintah Belanda marah besar dan menyebut orang-orang seram Timur sebagai bajak laut dan penipu. Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Gubernur Amboina Bernardus van Pleuren (1785-1788 ) menyebut orang-orang Seram Timur yang menguasai aktifitas perdagangan tersebut sebagai “penipu yang paling tidak bisa dipercaya di seluruh dunia”.
Akhirnya pemerintah Kolonial yang merasa dirugikan oleh aktifitas perdagangan tersebut melakukan “aksi penertiban” (hongi) secara besar—besaran melalui perang dan kekerasan. Kapal-kapal dan perahu yang mendukung aktifitas perdagangan di tangkap, dibakar dan dimusnahkan. Para pelaut dan pembuat kapal berbadan besar juga ditangkap dan dibunuh. Bahkan sejumlah perkampungan di pesisir seram dibumihanguskan. Operasi penertiban tersebut menandai fase-fase paling awal dari runtuhnya budaya kemaritiman Maluku, sebab sejak saat itu masyarakat semakin berjarak dengan lautnya, dipaksa melalui berbagai cara untuk fokus menanam dan merawat Pala dan Cengkeh yang dimonopoli kolonial Belanda. Masyarakat Maluku “dipaksa” meninggalkan habitat alam kelautan yang telah membesarkannya untuk menjadi petani dan berkebun meskipun rumah-rumah mereka masih tetap berada di bibir pantai.
Sedangkan fase kedua yang turut menghancurkan budaya kemaritiman Maluku adalah saat Indonesia Merdeka, dimana rezim Orde Lama serta Orde Baru memilih menfokuskan pembangunan pada wilayah daratan. Pembangunan juga hanya difokuskan di Jawa dan Sumatera sebagai daratan paling potensial bagi aktifitas pertanian dan perkebunan. Sering terdengar ucapan lawas, “Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatera adalah masa depan”. Pembangunan yang beroriantasi daratan memiliki implikasi serius sebab wilayah kepulauan seperti Maluku semakin merana, ditinggal dan dilupakan. Tidak ada kegiatan pembangunan yang strategis di Maluku, sebab Laut dan kepulauan dianggap sebagai sesuatu yang tidak prospektif dan menghambat kemajuan. Aksi-aksi penjarahan hasil laut di Maluku oleh berbagai kapal nelayan asing juga dibiarkan tanpa ada hukuman yang maksimal. Maka Maluku yang tertinggal semakin sulit berkembang sebab tidak memperoleh sumber daya yang cukup untuk membangun wilayahnya yang secara geografis terdiri dari pulau-pulau kecil dan 92 % adalah lautan.
Adapun fase ketiga yang bisa dicatat sebagai bentuk keruntuhan peradaban kemaritiman di Maluku adalah ketika rezim reformasi di era SBY menolak inisiatif rakyat Maluku membentuk otonomi propinsi kepulauan. Suatu inisiatif yang dipercaya akan mampu mendorong percepatan pembangunan di Maluku, sebab secara teoritis akan terjadi mobilisasi sumber daya ekonomi dan politik untuk menopang pembangunan. Meskipun secara retoris pemerintahan SBY selalu mengkampanyekan perubahan paradigma pembangunan yang semakin fokus pada aspek-aspek kelautan, namun penolakan tersebut masih memperjelas bahwa kampanye kembali ke laut hanya lips service dan politik pencitraan semata. Pemerintah pusat memang telah membentuk kementerian kelautan dan perikanan, tetapi secara keseluruhan belum menunjukkan sebuah perubahan paradigmatik pembangunan yang fundamental yang mencakup seluruh aspek pembangunan nasional.
Momentum Kebangkitan
Era pemerintahan presiden Joko Widodo yang setiap saat selalu mengkampanyekan paradigma baru pembangunan kemaritiman seharusnya memberi angin segar bagi negeri kepulauan seperti Maluku. Sebagai poros maritim Indonesia bahkan dunia, pastilah kebijakan tersebut akan menjadikan Maluku sebagai pusat gerakan dan percontohan kebijakan pembangunan kemaritiman nasional. Meskipun sejauh ini, realiasi atas janji-janji pembangunan maritim tersebut belum memperlihatkan tanda-tanda yang positif dan nyata.Misalnya Kebijakan tol laut yang diproyeksikan akan menghubungkan Indonesia, ternyata tidak memasukkan Maluku kedalam salah satu destinasi atau bagian utama persinggahan jalur lalulintas laut tersebut. Mungkin Maluku tidak dianggap penting dan strategis, sebab setelah dari Makassar jalur tol laut berakhir di Sorong Papua Barat. Sudah sepatutnya rakyat Maluku mempertanyakan kebijakan tersebut, mengapa Maluku sebagai wilayah kepulauan terbesar di Indonesia tidak disinggahi oleh jalur Tol Laut.
Kebijakan ini serupa dengan gerak lambat pembangunan infrastruktur kelautan yang dinilai kalah cepat dengan pembangunan infrastruktur transportasi darat seperti kereta cepat Jakarta-Bandung yang masih kontroversial, namun akan segera dibangun. Presiden Jokowi perlu diingatkan untuk lebih membuktikan lagi bahwa kampanye Indonesia sebagai poros maritim dunia, bukan sekedar lips service sebagaimana rezim-rezim sebelumnya.
Oleh sebab itu, sudah waktunya rakyat Maluku menunjukkan sikap yang lebih berani dan tegas pada pemerintah pusat untuk sungguh-sungguh memberi perhatian pada pembangunan kelautan di Maluku. Pemerintah baru dinilai serius membangun dunia maritim Indonesia, bila secara nyata telah menunjukkan keberpihakannya pada proses pembangunan di wilayah kepulauan seperti Maluku. Atau dengan kata lain Maluku harus menjadi indikator nyata kampanye pembangunan maritim Presiden Jokowi. Fokus pembangunan harus disertai dengan alokasi dana yang cukup untuk mendorong proses pembangunan, perbaikan infrastruktur kelautan dan penyempurnaan regulasi yang memberi dukungan hukum dan politik pada proses pembangunan. Mungkin kita perlu mempertimbangkan untuk mendorong kembali inisiatif lama tentang otonomi propinsi kepulauan.
Bersamaan dengan itu, momentum postif lainnya yang sangat penting saat ini adalah rencana eksplorasi gas abadi di Blok Masela wilayah perairan Maluku Tenggara Barat. Proses negosiasi tentang kekayaan alam tersebut harus menjadi titik awal untuk menegosiasikan seluruh kepentingan Maluku sebagai warga kepulauan di Republik Maritim ini. Oleh sebab itu, polimik pembangunan kilang gas alam cair (LNG) blok Masela apakah melalui sistem off shore atau on shore bukan hal yang penting. Tetapi fokus yang lebih penting adalah memastikan bahwa rakyat Maluku mendapatkan bagian yang memadai dan adil dari hasil-hasil kekayaan tambang yang akan dieskplorasi.
Dan tentu saja hasil-hasilnya digunakan secara nyata untuk membangun dunia kemaritiman di Maluku, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menumbuhkan peradaban. Sebab isu kemaritiman bagi kita rakyat Maluku, bukan sekedar pengelolaan potensi kekayaan ekonomi, tetapi lebih dari itu soal menemukan kembali kedaulatan, identitas, harga diri dan peradaban rakyat yang pernah hilang. Semoga..!
Oleh : Saidin Ernas
Dosen pada Prodi Pengembangan Masyarakat Pesisir
IAIN Ambon.